Merayakan Ramadhan dan Idul Fitri Bernuansa Kesetaraan Gender

AkuKita Wanita
4 min readMay 15, 2021

Peningkatan Peran Wanita saat Ramadhan dan Lebaran

Kesetaraan Gender, Image Credit AkuKita Wanita

Sudah 30 hari lamanya, umat muslim menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Menahan rasa lapar, dahaga, hawa napsu, dan emosi, membuat Ramadhan menjadi bulan yang penuh dengan ampunan bagi umat Muslim. Selain itu, suasana saat Ramadhan bagi saya adalah hal yang paling dirindukan. Sebab tidak setiap saat saya bisa mendengar riuhnya warga ketika waktu sahur, hiruk-pikuk orang-orang karena merebaknya pasar, setiap orang berlomba dalam kebaikan dan suasana santap makan yang selalu dilakukan bersama. Ramadhan selalu punya cerita yang sama meskipun Covid-19 berusaha untuk mengalihkan kisah itu.

Selang beberapa hari menuju Idul Fitri tiba, Saya berbincang dengan salah satu kawan (anggap saja Mawar). Seorang wanita karir yang juga berperan sebagai wanita rumah tangga. Dia menceritakan pengalamannya dan merasakan bahwa peranan wanita di bulan Ramadhan meningkat daripada biasanya, “Gimana caranya harus melakukan apapun yang mendukung ibadah si laki-laki terjaga. Kerjaan rumah tanggungan perempuan, sahur, buka puasa, masak, cuci piring, beres-beres dapur”. Bagi Mawar, skill perempuan di bulan Ramadhan itu dipertaruhkan bahkan tidak hanya pada saat eksekusi tetapi pada saat persiapan. Selain harus pandai memasak, perempuan harus pandai memikirkan serta mempersiapkan menu sahur dan berbuka 2 jam sebelum waktunya, lalu dilanjutkan dengan beres-beres dapur. Seakan-akan, urusan makanan dan rumah tangga adalah ranahnya perempuan.

Kondisi saat Ramadhan ini mengalami peningkatan ketika Idul Fitri tiba. Mengapa demikian? Budaya sambang dulur atau dikenal dengan istilah “Silaturahmi” memang menjadi ciri otentik saat Idul Fitri. Para wanita harus mempersiapkan makanan berlebih dengan beragam menu sebelum fajar tiba. Belum lagi ditambah makanan sampingan seperti kue dan ketupat yang harus dipersiapkan demi menjaga vibes lebaran. Setelah sholat Ied usai, orang-orang silih berganti datang ke rumah. Begitu juga dengan si wanita, silih berganti mengerjakan pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah menjadi lebih intens dan wanita seringkali mengalami tekanan dan tuntutan untuk melakukannya. Bagi Mawar, wanita sebagai gender di masyarakat benar-benar diuji ketika lebaran tiba.

Apa jadinya kalo Ramadhan dan lebaran dijalankan dengan kesetaraan gender?

Banyak yang bilang kalo puasa adalah belajar atau latihan dan lebaran itu ibarat membuka lembaran baru. Seseorang harus mengalami perubahan dari hasil pembelajarannya selama bulan Ramadhan. Bagi Saya, Ramadhan tak melulu soal spiritual melainkan juga soal sosial. Banyak sekali fenomena sosial yang bisa kita pelajari pada saat Ramadhan. Salah satunya adalah berbagi dalam prinsip keadilan. Kita bisa melihat ini pada zakat, orang-orang yang bersedekah dan berbagi makanan. Tapi, bisakah konsep berbagi diterapkan pada ranah gender? Jawabannya, bisa saja tapi ini memerlukan “keajegan” yaitu keteraturan sosial yang rutin dilakukan sebagai hasil dari interaksi sosial.

Coba bayangkan ketika kamu sedang memasak di hari pertama Ramadhan. Lalu ada seorang laki-laki yang datang kepadamu, siapapun itu. Lalu ia bertanya:

Laki-laki: “Kamu sedang apa?”

Wanita: “Aku sedang memasak, bisakah kamu membantuku untuk mempersiapkan makanan?”

Dari potongan dialog diatas, menurut Mawar, seorang wanita yang sudah menekuni pemberdayaan perempuan, hal dasar yang perlu dilakukan pada ranah gender adalah keberanian berpendapat. Perempuan harus berani mengutarakan pendapatnya tentang apa yang ia kerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Perempuan harus menghilangkan segala bentuk rasa sungkan dan ketidak-enakannya dalam meminta bantuan kepada laki-laki. Dengan itu, sebenarnya ia sedang berusaha membagi peranannya kepada laki-laki. Harapannya, antara laki-laki dan perempuan mengetahui bahwa ranah domestik merupakan peranan bersama yang harus dijaga. Perempuan juga harus pandai untuk mengajak dan mengajarkan peranannya yang secara “sosial” cenderung dianggap bukan peranan laki-laki. Ini merupakan upaya penyadaran yang dilakukan seorang perempuan. Oleh karena itu, Mawar mengatakan bahwa seorang perempuan harus memiliki nilai terkait skill apa yang ia miliki.

Apabila laki-laki (pada konteks ini) memang tidak mau memasak. Maka cara lain yang bisa dilakukan adalah negosiasi. Ketika seorang wanita sudah berani berpendapat maka dia juga harus bisa melakukan negosiasi pada ranah gender. Misalkan:

Wanita: “Aku sudah memasak, kamu yang harus mencuci piring”.

Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa seorang wanita harus memiliki power dalam kesetaraan gender. Tapi, itu tidak bisa diwujudkan dengan cara yang sekali-sekali dilakukan. Kegiatan itu harus dilakukan secara terus-menerus guna menciptakan keselarasan dan keteraturan sehingga menciptakan adanya beban dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bayangkan saja jika seorang perempuan memberikan pelatihan gender kepada laki-laki di keluarganya selama bulan Ramadhan. Lalu hasilnya bisa dilihat pada saat lebaran.

“Yuk kita masak buat tamu dan keluarga yang datang kerumah”

“Nanti kita cuci piringnya ganti-gantian ya”

“Udah biar aku (laki-laki) aja yang bikinin kopi buat bapak-bapak”

Hasil dari upaya kesetaraan gender menurut Mawar adalah pengambilan role bersama antara laki-laki dan perempuan yang pada konteks lainnya ditentukan oleh waktu. Karena ada role yang sama maka antara skill laki-laki dan skill perempuan memiliki kesamaan.

Mendengarkan kisah Mawar terkait perempuan sebagai gender saat Ramadhan, patutlah kita apresiasi bahwa perempuan memiliki andil besar saat Ramadhan. Sungguh harmonis dan penuh keindahan bagi mereka yang sudah melakukan kesetaraan gender pada keluarga. Semoga setelah lebaran ada kebaharuan yang membawa perubahan pada diri setiap keluarga. Salah satunya kesetaraan gender.

Izinkan saya untuk mengutip satu kalimat dari Mawar yang menurut saya sangat menginspirasi kita terutama para wanita agar memiliki nilai dan power:

“Mencari nafkah dan ngasih makan rumah tangga itu memang terlihat lebih mulia. Akibatnya, role perempuan di ranah domestic terkesan diremehkan. Supaya laki-laki bisa setara (dicabut kemuliaan role-nya) maka perempuan juga harus mengambil role laki-laki agar laki-laki juga bisa berkontribusi di role perempuan. Jadi kita punya eksekusi dan pekerjaan yang sama”.

Penulis : Raka, Head of Medium Creative Content

Editor : Anis, Head of Medium Strategic Implementation

Kontributor : Sarifatul, Head of Creative Promotion

--

--