Refleksi Diri

AkuKita Wanita
4 min readJul 5, 2021

Kita dan Kondisi Sosial

Image Credit AkuKita Wanita

Semasa hidupnya, manusia selalu merasakan perubahan di dalam dirinya. Mulai dari seorang bayi mungil yang terlahir lucu, tumbuh menjadi seorang anak yang menggemaskan dan suka meniru tingkah laku orang-orang yang ada di sekelilingnya. Di balik wajah yang selalu gembira dengan gigi seputih susu, ada jerih payah seorang anak merasakan menjadi manusia pada umumnya. Bisa berjalan dan berlari sesukanya, nampak tak pernah kehabisan energi. Semakin cepat ia berlari, semakin besar ia akan terjatuh dan menangis. Keesokan harinya, ia mengulangi lagi, berlari, lalu jatuh berkali-kali. Namun, kedua orang tuanya membiarkan sang anak untuk terus berlari sekencang-kencangnya. Sampai suatu saat, sang anak mulai mengatur langkah kaki, kondisi, kecepatan, dan arah matanya ketika ia ingin berlari.

Sang anak kini sudah bersekolah, mulai mengenal satu persatu ragam manusia dari sudut perumahannya. Di hari pertama sekolah, ia mulai merasakan lepas kendali orang tua. Ia mulai berusaha mencari orang tua kedua, seorang guru. Belajar kian menyenangkan, interaktif dan penuh canda tawa. Di balik pendidikan yang harus ia emban di sekolah, semakin banyak ia menelan mentah apa yang terjadi di masyarakat. Ia melihat kawannya menangis sebab keinginannya tak dikabulkan orang tua, mendengar kosakata yang belum pernah ia dengarkan sebelumnya, dan melihat kedua kawannya bertengkar tak berperasaan. Sang anak tak peduli karena itulah yang pertama kali ia ketahui. Namun, apa yang ia lihat bisa jadi apa yang ia lakukan di kemudian hari.

Sang anak tumbuh menjadi seorang remaja penuh pergaulan. Apa yang sudah ia ketahui sebelumnya, ia coba tanamkan pada dirinya. Pertengkaran, umpatan kasar, kesedihan percintaan, makian, dan lainnya. Ia mulai merasakan keberagaman perasaan yang bercampur aduk tak karuan. Suatu ketika, sang anak pulang dengan kondisi seperti tak habis sekolah. Seragam kusut, wajah muram, badan yang letih dan lesu menghiasi pandangan kehadirannya. Orang tuanya menghampiri, memasang mata tajam dan mulai mengintrogasi. Sang anak sudah menjawab tapi ia tahu bahwa raut wajah orang tuanya menandakan kecurigaan. Keesokan harinya, saat ingin pergi ke sekolah, ia membawa satu seragam lagi di tasnya untuk mengantisipasi apabila ia melakukan kesalahan yang sama. Ia tak ingin lagi melihat wajah kecurigaan kedua orang tuanya.

***

Sebagian manusia bisa menjadi seperti contoh anak di atas yang mengatur setiap detail kesalahannya. Ia ulang berkali-kali kesalahan itu agar memperbaiki keseluruhan dengan jelas. Seseorang yang berani dan secara sengaja melakukan kesalahan untuk belajar di kemudian hari. Namun, ada juga sebagian manusia layaknya remaja sekolah seperti contoh di atas. Memikirkan apa yang dilihat orang lain untuk memperbaiki kesalahan yang ia perbuat dan menentukan penyelesaian masalah pada dirinya. Bagi saya, keduanya bisa disebut refleksi diri.

Refleksi diri adalah bentuk perenungan dan cara kita menganalisis apa yang terjadi pada diri kita sendiri dalam hal apa pun. Sebagian diri kita mungkin seperti analogi si anak yang merefleksikan diri berdasarkan apa yang kita lakukan setiap hari. Namun, ada juga yang seperti si remaja sekolah yang merefleksikan dirinya berdasarkan interaksi sosial dengan orang lain. Di sini, saya ingin menjelaskan refleksi diri si remaja yang mungkin juga sering kita lakukan.

Charles Cooley dalam teorinya, Looking Glass Self, menyatakan bahwa gambaran mengenai diri kita berasal dari kualitas personal dan kesan bagaimana orang lain menilai kita. Ia menjelaskan ada 3 unsur di dalam teorinya (Dahlia, n.d.):

  1. Kita membayangkan bagaimana tampilan kita di hadapan orang lain.
  2. Kita membayangkan bagaimana penilaian orang terhadap diri kita berdasarkan penampilan.
  3. Kita membayangkan bagaimana perasaan orang lain berdasarkan penilaiannya.

Jadi, dalam proses refleksi diri “Looking Glass Self”, kita melihat perilaku orang lain sebagai acuan untuk perkembangan diri. Perilaku itu menjadi simbol yang menstimulus apa yang harus kita refleksikan dan kita ubah dalam interaksi sosial. Hal ini biasanya terjadi apabila kita berada di dalam kelompok sosial yang menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Refleksi diri bisa terjadi secara terus-menerus bergantung pada lingkungan seseorang tinggal dan norma serta nilai yang dibangun di kelompok tersebut. Refleksi diri secara sosial tidak akan pernah berakhir sebab ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat diri kita harus melakukan penyesuaian. Seperti contoh remaja sekolah, ia hanya mengubah penampilan tanpa mengubah kesalahan yang ia perbuat. Oleh karena itu, diperlukan juga refleksi diri oleh diri sendiri.

Menurut saya, refleksi diri oleh diri sendiri itu sama pentingnya dengan refleksi diri secara sosial. Perbedaannya terletak pada prinsip, orientasi, dan tujuan hidup. Refleksi diri oleh diri sendiri berguna untuk menarik batas pada permasalahan yang kita hadapi. Kita harus bisa menarik batas antara “yang sosial” dan “yang individu” sehingga kita bisa membangun langkah yang tepat tanpa mencampuradukkan setiap kondisi.

Ada banyak cara melakukan refleksi diri dan ada banyak hasil yang bisa kita dapatkan. Merenung itu gak buruk, kok! Kamu bisa memanfaatkan kegabutan kamu, loh. Oh iya, yang perlu diingat adalah bahwa refleksi itu bukan ajang kita untuk menyalahkan diri sendiri. Tidak ada yang salah dengan kamu! Kita hanya seringkali berada di lingkungan yang tidak tepat. Maka dari itu, penyesuaian penting dilakukan supaya kita terbiasa dengan segala perubahan.

Gimana cara kamu merefleksikan diri? Tulis di kolom komentar, ya!

AkuKita Wanita juga memberikan pencerdasan di newsletter yang dikirim melalui e-mail dua minggu sekali.

Penulis: Raka Gunara

Editor: Azaina Farah Sabrina

Sumber:

Dahlia, S., n.d. Looking-Glass Self Wanita Buruh Bangunan Dalam Proses Adaptasi Pada Lingkungan Kerja. Alumni Prodi Ilmu Komunikasi, Issue Woman Building Labour, pp. 1–14.

--

--