Peran Perempuan pada Tradisi Tahlilan di Gresik

AkuKita Wanita
3 min readJun 11, 2021

Bagaimana Pembagian Perannya dengan Laki-Laki?

Image Credit AkuKita Wanita

Bagaimana kalian memahami peran perempuan dalam sebuah tradisi Jawa? Tentunya, masih tidak jauh dari kata aturan atau terbelenggu dari nilai-nilai budaya yang melekat dalam kehidupan. Hal ini kemudian berhubungan dengan kentalnya nilai patriarki yang mengharuskan perempuan untuk berkecimpung pada ranah domestik (mencuci, menyapu, memasak, dan lain sebagainya). Seperti yang dinyatakan oleh Atik (2010) bahwa budaya Jawa yang cukup kental dengan bias gender merupakan kendala optimalisasi partisipasi perempuan di dunia publik. Kekentalan itu secara filosofis dapat dilihat dalam ungkapan swargo nunut neraka katut (surga ikut, neraka terbawa), nek awan dadi teklek nek bengi dadi lemek (jika siang menjadi alas kaki, jika malam menjadi alas), berikut juga termasuk dalam pemaknaan kata wanita (wani ditoto). Dari sini, dapat dikatakan bahwa hidup wanita tidak lebih dari berada di bawah bayang-bayang laki-laki.

Namun, uniknya, terdapat salah satu tradisi Jawa yang lebih membutuhkan peran perempuan ketimbang laki-laki, yakni tahlilan. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa makna tahlilan sendiri adalah pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang meninggal (Abdul, 2021). Menurut Abdul (2021), acara semacam ini bahkan diadakan mulai hari pertama kematian dan terus berlangsung secara estafet sampai hari ketujuh atau keseribu.

Peran perempuan dalam tradisi ini berupa menyiapkan masakan yang digunakan sebagai perjamuan untuk tamu, menyiapkan bingkisan yang nanti dibawa oleh tamu ketika acara telah selesai, serta mencuci piring yang telah digunakan hingga membersihkan sampah minuman dari tamu. Menurut Clifford Geertz (1960), acara ini diselenggarakan di waktu malam, setelah matahari terbenam dan menyelesaikan ibadah salat magrib. Siang hari adalah waktu yang digunakan untuk menyiapkan hidangan dan kaum wanitalah yang berperan melakukan ini. Lantas, bagaimana dengan peran para pria selama persiapan tradisi ini? Kaum pria hanya bertugas menata tikar yang digunakan sebagai alas duduk para tamu.

Bukan hanya pembagian peran kerja saja yang terasa berbeda, tetapi pembagian tempat duduk selama berlangsungnya acara juga berbeda (antara laki-laki dan perempuan). Apabila laki-laki berada di ruang tamu karena bertugas untuk menyambut tamu, memimpin acara, serta membagi-bagikan bingkisan kepada para tamu, maka, selama acara berlangsung, para perempuan akan duduk di belakang dapur menunggu acara selesai. Seperti pernyataan Clifford Geertz (1960) bahwa wanita tinggal di mburi (belakang — di dapur) sembari mengintip ke ruang tamu tempat kaum pria duduk bersila di tikar melakukan tradisi ini.

Adanya alasan pembagian peran ini tentu berhubungan dengan peran perempuan dalam ranah domestik. Sehingga, selama perempuan menyiapkan segala persiapan yang dibutuhkan, peran laki-laki hanya menunggu atau mengobrol dengan kerabat sesama laki-laki lainnya sembari ditemani kopi yang sudah disiapkan oleh tuan rumah sebelumnya.

Pembagian letak duduk antara perempuan yang berada di dapur dan laki-laki yang berada di ruang tamu ini berhubungan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa perbedaan shaff antara keduanya. Seperti yang dinyatakan oleh Rosa, salah satu warga Gresik, bahwa dalam kegiatan mengaji seperti tahlilan tentunya letak antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dicampur. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Maya yang menghubungkan dengan peran laki-laki yang sebagai imam (diposisikan di depan) serta perempuan yang sebagai makmum (diposisikan di belakang) dalam agama Islam.

“Mungkin karena laki-laki itu imam dan perempuan adalah makmumnya,” ucap Maya salah satu warga kota Gresik.

Dari sini, dapat kita ketahui bahwa peran perempuan lebih banyak daripada laki-laki dalam persiapan tradisi tahlilan di Gresik, meskipun untuk letak duduk mereka (perempuan) juga berbeda selama acara berlangsung. Ulasan di atas adalah salah satu contoh tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan pada salah satu tradisi Jawa, yakni tahlilan. Kalau kalian pernah mengalami tradisi yang serupa dengan pembagian peran yang berbeda, bisa dituliskan di kolom komentar, ya!

Penulis: Vil Laura Murdiahtin N.

Editor: Azaina Farah Sabrina

Sumber:

Budiati, A. C. (2010). Aktualisasi Diri Perempuan dalam Sistem Budaya Jawa (Persepsi Perempuan Terhadap Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Mengaktualisasi Diri). Pamator Journal, 1–6.

Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Saleem, A. W. (2021). Tradisi Perjamuan Tahlilan (Studi Living Hadits Tradisi Perjamuan Tahlil “Kematian” di Jinggotan, Jepara). JASNA: Journal for Aswaja Studies, 1–4.

--

--