Perempuan dalam Dunia Kelautan
Antara Cita-Cita dan Pengabdian
Indonesia adalah negara maritim. Sebesar 70% wilayahnya didominasi oleh laut. Mereka yang bekerja di laut tentu dituntut untuk menjadi tangguh karena bekerja di laut tidaklah mudah. Itulah mengapa laut terkadang diidentikkan dengan dunianya laki-laki. Dengan adanya pengidentikan ini membuat saya ingin mengutip beberapa pengalaman diskriminasi dari para perempuan yang terjun langsung dalam profesi kelautan ini.
Carmelia Hartanto, Wakil Ketua Umum Women in Maritime Indonesia (WIMA), dalam Warta Jakarta mengaku bahwa dahulu ia pernah diremehkan sebagai perempuan karena terjun ke dunia pelayaran yang keras dan penuh tantangan. Adapun stigma “manja dan lemah” yang membuat rekan-rekan dari Yuni Kartika, seorang pelaut perempuan yang bekerja di kapal pengangkut batubara, pada akhirnya banyak yang menganggur.
Statement-statement ini didukung oleh Departemen Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa hingga saat ini, masih ada diskriminasi gender bahkan kekerasan yang dialami perempuan yang bekerja di laut.
Sebagai seorang perempuan, tentu saya tidak akan setuju dengan adanya label dan stigmatisasi yang diberikan oleh sebagian kaum terhadap eksistensi perempuan di dunia kelautan. Adanya stigmatisasi ini membuat sebagian dari kita cenderung mengotak-ngotakkan dunia keprofesian berdasarkan jenis gendernya. Padahal, tidak ada salahnya untuk bercita-cita di bidang yang sebagian besarnya diisi oleh lelaki, kelautan contohnya.
Mari kita telaah lebih dalam, apakah benar dunia kelautan di Indonesia masih jarang memiliki sosok-sosok perempuan hebat di dalamnya?
Siapa yang tak kenal Susi Pudjiastuti? Sosoknya yang tegas dan berwibawa dalam menyelamatkan ikan-ikan yang dicuri kapal asing secara ilegal dan menenggelamkan kapal pencuri, membuatnya dikenal dunia.
Bagi saya, sosok Bu Susi kala itu menjadi “angin segar” bagi para perempuan yang ingin bekerja di laut. Sosoknya yang dikenal tegas mampu mengubah stigma bahwa perempuan itu “manja dan lemah” menjadi “kuat dan sama hebatnya” seperti kaum adam di dunia kelautan.
Ketegasan dan kehebatan Bu Susi juga dimiliki oleh Capt. Ni Putu Cahyani, seorang nakhoda KN Alugara P.114 dari Sea and Coast Guard Pelabuhan Tanjung Priok. Ia adalah seorang pemimpin sebuah kapal patroli yang di dalamnya terdapat ABK berisikan para lelaki.
Sosok Capt. Ni Putu Cahyani ini menginspirasi saya dan mungkin juga Anda akan bagaimana seorang perempuan yang sudah menikah tetap berusaha menggapai cita-citanya, terlebih di dunia kelautan yang tentu tak begitu mudah dijalani oleh seorang perempuan. Suaminya –Dasaas Putra– adalah contoh nyata toleransi yang dilakukan sebuah keluarga dalam berumah tangga, akan adanya peran seimbang antara menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga. Kita harus mengerti bahwa yang memiliki impian bukan hanya lelaki, tapi juga perempuan.
Kedua sosok tadi merupakan sosok-sosok perempuan pemimpin dalam dunia laut. Namun, tentu kita tak boleh begitu saja melupakan bahwa ada sosok perempuan nelayan yang berasal dari kelas ekonomi rendah.
Ani Rostiyati, seorang Peneliti Utama Balai Pelestarian dan Nilai Budaya Bandung, dalam tulisannya pada Jurnal Patanjala menjelaskan bahwa para perempuan ini turut berkiprah di dunia kelautan sebagai sosok yang membantu perekonomian keluarga. Mereka mengabdikan dirinya sebagai seorang nelayan perempuan demi upah yang tak seberapa (Rostiyati, 190).
Menurut Ani, kemiskinan telah membuat perempuan memikul beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus ibu rumah tangga (Rostiyati, 190–191). Para perempuan nelayan ini juga tak jarang menyambi berjualan hasil tangkapan ikan yang diolah menjadi makanan.
Jika kita lihat kapasitasnya, dapat diambil sebuah garis besar bahwa sebetulnya perempuan sangat berperan penting dalam profesi di dunia kelautan. Sosoknya, pada posisi apapun itu, memiliki peran vital baik sebagai pemimpin maupun sebagai pendorong ekonomi.
Saya percaya, perempuan tak bisa begitu saja diremehkan hanya karena ia “perempuan”. Para perempuan hebat inilah yang memancarkan aura kecantikannya tersendiri. Mungkin mereka tidak ber-makeup seperti perempuan lainnya, atau mungkin saja mereka tidak bekerja di kantoran seperti kebanyakan para wanita karier mengabdi. Namun, merekalah yang membuat laut Indonesia tetap jaya dengan segala risiko yang diembannya.
Mereka adalah para perempuan tangguh yang memancarkan sinar kecantikannya tersendiri. Mereka mencintai laut apa adanya. Dan inilah jalan yang mereka pilih untuk hidupnya sendiri, mereka memilih laut sebagai hidupnya, pengabdiannya.
Kalau Anda, jalan hidup apa yang Anda pilih sendiri? Tulis pilihan dan alasannya di kolom komentar, ya!
Penulis: Raissa Yulianti
Editor: Azaina Farah Sabrina
Sumber:
An. (2017, Mei 25). Capt. Ni Putu Cahyani Antar Presiden Jokowi Keliling Pelabuhan Tanjong Priok. Dermaga, pp. https://www.beritatrans.com/artikel/80872/Capt-Ni-Putu-Cahyani-Antar-Presiden-Jokowi-Keliling-Pelabuhan-Tanjung-Priok/.
Tanaya, S., dan Napitupulu, L. (2020, 10 November). 3 Alasan Kenapa Perempuan Nelayan Memainkan Peran Penting Untuk Pemulihan Ekonomi Yang Inklusif. Analisis Situasi, pp. https://trenlaut.id/tiga-alasan-kenapa-perempuan-nelayan-memainkan-peran-penting-untuk-pemulihan-ekonomi-yang-inklusif.
Redaksi. (2019, Oktober 18). WIMA Gelar Talkshow Pemberdayaan Perempuan dalam Industri Maritim. Ekonomi, pp. https://wartajakarta.com/wima-gelar-talkshow-pemberdayaan-perempuan-dalam-industri-maritim/.
IS; AS; HG; HT; JD. (2021, Mei 24). Peran Perempuan di Dunia Maritim dan Keselamatan Pelayaran. Liputan Khusus, pp. htp://dephub.go.id/post/read/peran-perempuan-di-dunia-maritim-dan-keselamatan-pelayaran.
Rostiyati, Ani. (Juni, 2018). Peran Ganda Perempuan Nelayan di Desa Muara Gading Mas Lampung Timur. Jurnal Patanjala, Vol. 10 №2. https://media.neliti.com/media/publications/291857-peran-ganda-perempuan-nelayan-di-desa-mu-d4f241ed.pdf, 8 Juni 2021.