Polemik Kata Perempuan dalam KBBI

Perbedaan Sudut Pandang dan Interpretasi

AkuKita Wanita
4 min readMay 21, 2021
Image by AkuKita Wanita

Pada Februari 2021, isu mengenai arti kata perempuan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mulai terangkat kembali sejak ramai diperbincangkan pada 2018. Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menilai entri dan arti kata perempuan dalam KBBI terlalu “bias gender dan terkesan patriarkis” (Anonim, 2021). Entri kata perempuan kemudian menjadi perdebatan di beberapa kalangan seperti para pegiat, aktivis, seniman dan ahli bahasa. Meskipun begitu, menurut saya, perdebatan ini tentunya memiliki kesamaan tujuan yaitu menghasilkan perubahan entri kata perempuan di dalam KBBI secara adil dan objektif. Memang tidak bisa dipungkiri, persoalan kata ‘perempuan’ ternyata jauh lebih kompleks dari yang saya bayangkan. Mulai dari sejarah bahasa, aspek politis, sosiologis dan ideologis berperan dalam proses pembentukan kata ‘perempuan’ di dalam KBBI.

Disisi lain, ada salah satu aspek yang menarik perhatian saya yaitu tanggapan dari Badan Bahasa mengenai definisi kata perempuan yang akan dirubah atau dihapus dalam KBBI (Anonim, 2021):

“… penyusunan kamus bersandar pada korpus yang tersaji secara apa adanya. Frekuensi kemunculan yang tinggi menjadi salah satu syarat masuknya kata menjadi entri dalam KBBI. Jika ada yang bertanya, apakah stigma negatif yang terekam dalam KBBI dapat dihapus? Jawabannya tidak karena KBBI tidak dapat menghilangkan entri beserta kelengkapannya yang sudah ada karena setiap entri mewakili fakta kebahasaan pada masanya”.

Dengan kata lain, penjelasan mengenai kata perempuan di dalam KBBI merupakan sebuah gambaran mengenai pandangan masyarakat terhadap perempuan. Jadi, menurut Badan Bahasa, konotasi negatif seperti perempuan geladak; perempuan jahat; perempuan jalanan; dan perempuan jalang merupakan kata yang paling sering digunakan bersandingan dengan kata ‘perempuan’. Oleh karena itu, untuk merubah entri kata perempuan di dalam KBBI diperlukan perubahan stigma di masyarakat (Anonim, 2021). Tapi nyatanya, tanggapan ini memunculkan banyak kontroversi seperti data penggunaan kata yang saling bertentangan (Kurniawan, 2021), praktik berbahasa mempengaruhi pandangan masyarakat (Mardyana, 2021), peran bahasa dalam membangun nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender (Salim, 2021), sampai pada apa dan dimana peran kamus jika yang diubah adalah stigma dan konotasi pada masyarakat? (Alnizar, 2021).

Menurut saya, stigma negatif di masyarakat terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang dan interpretasi dalam melihat karakteristik perempuan. Apabila ditelaah, kata perempuan dan wanita memang kental dengan karakter. Karakter yang berada pada kata wanita berasal dari perubahan makna turunannya yaitu kewanitaan. Kata kewanitaan merujuk pada “keputrian” atau “sifat-sifat khas wanita” seperti seorang putri keraton, wanita diharapkan bersikap dan berperilaku yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi dan menyenangkan pria (Parhani, 2021). Sedangkan kata perempuan menurut Sudarti dan D. Jupriono juga menulis bahwa kata perempuan berhubungan dengan kata ‘ampu’ yang artinya sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan bahkan wali (Parhani, 2021). Pada dasarnya, kedua kata ini memiliki makna yang berbeda tetapi karena agenda yang bersifat politis dan ideologis pada masa perjuangan dan orde baru maka keduanya nampak sama bahkan merupakan sinonim dalam tesaurus Bahasa Indonesia. Usaha untuk “mematikan” pergerakan perempuan dan mengembalikan mereka pada “kodratnya” sebagai seorang wanita … (Parhani, 2021). Saya cukup yakin bahwa masyarakat pada umumnya tidak mengetahui perbedaan karakter pada sejarah kedua kata ini sehingga terjadi kesamaan karakter.

Kata wanita dan perempuan muncul pada masa feodal dan seharusnya karakter pada kedua kata itu mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman. Bagi saya, persoalan terletak pada budaya ketidakadilan gender yang masih mendarah daging di dalam masyarakat sehingga bagaimanapun seorang wanita/perempuan tetaplah harus memiliki karakteristik yang sama. Menurut Prof. Dr. Saparinah Sadli dalam Studi Perempuan, observasi dan asumsi lebih mencerminkan perspektif laki-laki tentang dunia realitas, interpretasinya dapat benar bagi laki-laki, namun kurang benar bagi perempuan. Artinya, interpretasinya tidak selalu berkaitan dengan pengalaman perempuan tentang dunia realitas yang dihuni oleh perempuan (Sadli, n.d.).

Jadi, perempuan geladak; perempuan jahat; perempuan jalanan; dan perempuan jalang merupakan sebuah kesatuan interpretasi dari orang lain yang bersifat objektif, bukan dari sudut pandang perempuan yang mengalami hal tersebut. Lagi pula, ada banyak hal positif yang dilakukan oleh perempuan dan ada banyak kosa kata yang tepat untuk memahami perempuan secara objektif. Akan ada bagian yang tidak sesuai dengan realitas terkait apa yang dirasakan perempuan dan apa yang diinterpretasikan oleh laki-laki.

Saya tidak bisa membayangkan apabila stigma negatif terhadap perempuan yang ada di masyarakat dapat hilang seutuhnya karena masih terhalang ketidakadilan gender yang turut berperan dalam membentuk interpretasi masyarakat terhadap perempuan. Jika memang konotasi negatif itu merupakan hal yang paling banyak dicari oleh masyarakat maka stigma negatif itu memang masih marak terjadi. Tapi saya cukup yakin bahwa perubahan entri pada kata perempuan dalam KBBI dapat turut membantu masyarakat menginterpretasikan apa yang dialami oleh perempuan.

“Saya tidak mengatakan saya ingin semuanya diubah menjadi kata-kata positif … tidak. Tapi saya ingin objektivitas dan percakapan yang nyata”, (Kurniawan, 2021).

Selain memberikan pencerdasan melalui artikel, AkuKita Wanita juga memberikan tips and trick yang ditampilkan dalam bentuk newsletter.

Penulis : Raka, Head of Medium Creative Content

Editor : Anis, Head of Medium Strategic Implementation

Kontributor : Sarifatul, Head of Creative Promotion

Referensi:

Alnizar, F., 2021. Definisi ‘Perempuan’: Patriarki dan Misogini dalam Bahasa Indonesia. [Online]
Available at: https://theconversation.com/definisi-perempuan-patriarki-dan-misogini-dalam-bahasa-indonesia-154858
[Accessed 18 05 2021].

Anonim, 2021. Badan Bahasa Tanggapi Definisi Kata Perempuan Dalam KBBI. [Online]
Available at: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/berita/3451/badan-bahasa-tanggapi-definisi-kata-perempuan-dalam-kbbi#:~:text=Ia%20menyebutkan%20bahwa%20kata%20perempuan,perempuan%20dalam%20KBBI%20berkonotasi%20negatif.
[Accessed 18 05 2021].

Kurniawan, W., 2021. Misi Pekerja Seni Mengubah Arti Kata “Perempuan” Dalam KBBI. [Online]
Available at: https://www.voaindonesia.com/a/misi-pekerja-seni-mengubah-arti-kata-perempuan-dalam-kbbi-/5810221.html
[Accessed 18 05 2021].

Mardyana, 2021. Penjelasan Badan Bahasa Tentang Entri Kata Perempuan di KBBI Yang Menuai Kritikan. [Online]
Available at: https://womantalk.com/news-update/articles/penjelasan-badan-bahasa-tentang-entri-kata-perempuan-di-kbbi-yang-menuai-kritikan-ygbLg
[Accessed 18 05 2021].

Salim, N., 2021. Perempuan Indonesia Menyerukan Perubahan Contoh Kata Majemuk ‘Perempuan’ yang dianggap Seksis. [Online]
Available at: https://www.abc.net.au/indonesian/2021-03-12/seruan-perubahan-contoh-kata-majemuk-perempuan-di-kbbi/13238076
[Accessed 18 05 2021].

--

--