Ekofeminisme
Kedekatan Perempuan dengan Lingkungan Hidup
“Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”, perkataan bijak dari Mahatma Gandhi yang mengingatkan kita bahwa kehidupan manusia bergantung pada apa yang diberikan oleh alam. Akhir-akhir ini, kita sudah cukup merasakan peristiwa kerusakan alam dan dampak dari kerusakan tersebut. Kualitas udara yang semakin memburuk, air yang tercemar, virus yang diduga muncul akibat kerusakan alam, eksploitasi sumber daya alam, deforestasi, pemborosan energi, dan masih banyak lagi. Kutipan dari Mahatma Gandhi sudah menggambarkan bahwa manusia melakukan segala upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kita juga perlu menyadari bahwa kita sebagai individu berperan dalam merusak lingkungan hidup meskipun dalam skala yang paling kecil.
Pandangan manusia terhadap alam sebagai lingkungan hidup sangat bersifat antroposentris. Artinya, persoalan lingkungan hidup hanya berpusat kepada manusia. Pandangan antroposentris tidak melihat bahwa ada makhluk hidup lain yang juga membutuhkan tempat tinggal dan berkembang biak. Antroposentris memandang manusia sebagai penguasa di jagad alam raya sehingga memunculkan adanya eksplorasi dan eksploitasi alam demi keberlangsungan hidup. Sejarah mencatat, di tingkat yang lebih ekstrim, pandangan ini menciptakan adanya perang antarbangsa yang tak lain dan tak bukan adalah demi sumber daya.
Setelah antroposentris diimplementasikan dan dirasa terlalu berlebihan, maka muncul antitesisnya, yaitu biosentrisme. Jika antroposentris melihat manusia sebagai pusat semesta, maka biosentrisme berjalan sebaliknya, lingkungan sebagai pusat semesta. Ini memberikan manusia kedudukan yang lebih rendah untuk memanfaatkan sumber daya alam. Lalu, apa yang terjadi? penangkapan masyarakat adat karena dituduh merusak alam. Padahal, mereka hanya memanfaatkan sumber daya alam yang sudah dijaga oleh para leluhur untuk melaksanakan ritual. Biosentrisme justru menghadirkan polemik baru. Oleh karena itu, diperlukan adanya keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestariaan. Namun, apakah keseimbangan itu kemudian terjadi?
Diskriminasi perempuan dan eksploitasi alam
Struktur dan kebijakan untuk melestarikan dan pemanfaatan alam secara terbatas nyatanya tidak berjalan dengan baik. Pemanfaatan alam justru digunakan secara berlebihan dengan dalih investasi menuju pertumbuhan ekonomi. Kegiatan perseorangan dalam pemanfaatan alam beralih menjadi korporasi, perusahaan, dan industri yang beresiko pada kerusakan lingkungan, yaitu eksploitasi sumber daya alam.
Kerusakan lingkungan berdampak pada perempuan manakala posisi perempuan semakin rentan dalam lingkungan hidup dan sosial, misal: kasus penolakan pabrik semen di Kendeng dan penolakan Reklamasi Teluk Benoa di Bali. Pada penolakan pabrik Semen di Kendeng, petani perempuan menganggap bahwa pabrik semen mengancam sumber air, ekosistem, dan mata pencaharian para petani sehingga berpengaruh pada berkurangnya pasokan pangan (Saturi, 2020). Di sisi lain, perempuan nelayan yang menolak adanya Reklamasi Teluk Benoa di Bali menganggap bahwa reklamasi dapat mengancam mata pencaharian para nelayan sebagai pengupas kerang karena sumber daya berupa kerang hijau semakin berkurang (Primadhyta, 2016).
Perempuan dan alam dapat dikatakan menerima dampak yang sama dari adanya suatu sistem, yaitu budaya patriarki. Dalam budaya patriarki, peranan perempuan di ranah domestik memberikan ketimpangan pada peranan sosial. Peran domestik perempuan di pedesaan dipengaruhi oleh apa yang diberikan alam. Begitu pun sebaliknya, kerusakan pada alam juga mempengaruhi peranan perempuan. Artinya, perempuan memiliki kedekatan secara langsung dengan alam dalam aktivitas keseharian. Oleh karena itu, ide-ide perlawan terhadap ketidakadilan gender bersamaan dengan kerusakan alam, secara teoretis muncul apa yang disebut sebagai ekofeminisme.
Ekofeminisme merupakan penggabungan ide antara ekologi dan feminisme. Ekologi adalah sebuah kesatuan sistem antara makhluk hidup dan lingkungan yang bersifat timbal balik, sedangkan feminisme merupakan suatu ide tentang perlawanan ketidaksetaraan gender yang dilakukan oleh perempuan. Dalam kritiknya, para feminisme mengatakan “the personal is the political” yang bermakna bahwa pemilahan ranah privat dan publik dalam menentukan perempuan sebagai gender merupakan bentuk dominasi. Melalui ekologi, pemilahan antara privat dan publik mengalami peleburan sebab ancaman yang terjadi pada alam mengganggu aktivitas perempuan yang menuntut mereka untuk melakukan perlawanan. Dalam ekofeminisme, perlawan muncul dari kehidupan sehari-hari melalui etika dan kepekaan terhadap keberlangsungan alam.
Apa yang bisa dilakukan perempuan untuk keberlangsungan lingkungan hidup?
Saya rasa, kita perlu menyesuaikan diri dengan tempat kita hidup dan beraktivitas. Anggap saja, perempuan di perkotaan. Berdasarkan pengamatan saya, kita harus menarik batas antara berusaha dan melawan. Tidak semua hal yang kita lakukan untuk lingkungan adalah bentuk perlawanan meskipun berusaha bisa menjadi dalil di baliknya. Jika teman-teman adalah ibu rumah tangga ataupun seorang perempuan yang beraktivitas di rumah, kita bisa melakukan penghematan sumber daya dan energi seminimal mungkin seperti air dan listrik. Lalu, mengurangi sampah domestik dengan melakukan reduce, reuse, dan recycle, mengurangi penggunaan limbah kimia seperti sabun, deterjen, dan lain-lain. Kita juga bisa melakukan aktivitas yang mendukung pangan keluarga seperti menanam pohon penghasil sayur atau buah. Untuk perempuan karir dengan mobilitas tinggi, kita bisa menggunakan angkutan umum guna mengurangi emisi gas yang ditimbulkan oleh kendaraan, serta meminimalisir penggunaan energi untuk teknologi dan mengikuti kegiatan sosial berbasis lingkungan.
Sebenarnya, banyak hal yang bisa dilakukan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana seorang perempuan bisa menanamkan prinsip kepada keluarga untuk menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan. Menurut saya, menanamkan kesadaran terhadap lingkungan adalah hal yang sulit sebab kesadaran seringkali terbentuk karena dampak yang diterima. Jadi, ibarat kata pepatah, “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Lebih baik bergerak sebelum mengalami. Bahkan, alangkah lebih baik kegiatan individu bisa terorganisir menjadi gerakan sosial dengan skala yang lebih luas seperti bank sampah, pengelolaan industri rumahan, dan pengolahan limbah rumah tangga.
Jadi, gimana menurut teman-teman? Apa yang perlu dilakukan oleh kita sebagai perempuan untuk merawat dan menjaga ekologis? Tulis tanggapan kalian di komentar, ya!
AkuKita Wanita juga memberikan pencerdasan di newsletter yang dikirim melalui e-mail dua minggu sekali.
Penulis: Raka Gunara
Editor: Azaina Farah Sabrina
Referensi:
Primadhyta, S., 2016. Gerakan Nasional Tolak Reklamasi Diserukan Kaum Perempuan. [Online]
Available at: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160313150656-20-117018/gerakan-nasional-tolak-reklamasi-diserukan-kaum-perempuan
[Accessed 22 06 2021].
Saturi, S., 2020. Perempuan Kendeng Pertanyakan Operasi Pabrik Semen di Masa Pandemi. [Online]
Available at: https://www.google.com/amp/s/www.mongabay.co.id/2020/04/26/perempuan-kendeng-pertanyakan-operasi-pabrik-semen-di-masa-pandemi/amp/
[Accessed 22 06 2021].