Asrama Dara
Gambaran Perempuan di Tengah Zaman
Film “Asrama Dara” (1958) merupakan film drama musikal yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Menceritakan tentang sekumpulan mahasiswi penghuni asrama yang memiliki latar belakang dan kepribadian yang berbeda. Beberapa mahasiswi seperti Rahimah, Tari, Maria, dan Sita mengalami satu kisah cinta yang sama sehingga menciptakan apa yang dinamakan cinta “segi empat”. Lalu, ada juga Ina dan Ani yang berusaha menyelesaikan kisah cinta kedua orang tuanya yang lama berpisah. Bagi saya, film ini begitu menarik sebab tindak-tanduk perempuan nampaknya dipengaruhi oleh norma dan nilai pada zamannya. Di tengah zaman yang berkembang, ide tentang perempuan tradisional masih dipegang teguh oleh sebagian tokoh. Namun, ada juga di antara mereka yang berusaha untuk melakukan perubahan guna mengikuti modernitas. Dengan demikian, tulisan ini berusaha untuk menjelaskan ide-ide perubahan pada perempuan di antara perspektif tradisional dan modern.
Perempuan, secara gender, pada perspektif tradisional digambarkan memiliki peran penting dan tidak tergantikan, yaitu sebagai seorang istri dan seorang ibu. Perempuan dimaknai dari aktivitas sosialnya yang berada pada ranah domestik. Perempuan lebih sering diartikan negatif bahkan oleh dirinya sendiri sehingga sering kali membiarkan dirinya pada posisi lemah, terdominasi dan terpinggirkan. Alhasil, selalu berujung pada “menerima nasib”. Bersamaan dengan itu, sebenarnya perempuan juga mengakui bahwa posisi laki-laki haruslah lebih penting daripada dirinya.
Lain halnya dengan perempuan pada perspektif modern. Dia digambarkan sebagai seorang individu yang bermain atau mengambil role laki-laki. Seorang perempuan modern memiliki kebebasan untuk menentukan hidup. Peranannya didominasi pada sektor publik tanpa melupakan sektor domestik. Dengan demikian, perempuan modern selalu mendapatkan peran ganda.
Dalam film ini, saya menafsirkan bahwa perempuan selalu berada di tengah-tengah zaman. Seluruh tokoh dalam “Asrama Dara” merupakan wanita modern tetapi selalu dibayang-bayangi oleh pikiran tradisional. Misalkan: sudah menata karir, pendidikan tinggi, tapi masih belum bisa menentukan pilihan hidup dan secara terpaksa harus mengikuti arahan orang tua, terbiasa dengan kebodohan lalu berharap punya suami yang mapan untuk menopang perekonomian. Ketika perempuan berada pada apa yang disebut sebagai modern, mereka memiliki kecenderungan untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional. Contoh di atas merupakan gambaran kasar dialog antartokoh. Ide-ide tersebut memunculkan beberapa karakteristik perempuan dalam film yang sudah disampaikan pada opening song, yaitu matre, manis, genit, sinis, dan sengit.
Terlepas dari karakter yang sudah ditanamkan terhadap perempuan, “Asrama Dara” menawarkan nilai-nilai kepada perempuan untuk menentukan arah menuju modernitas. Menurut saya, ada beberapa nilai yang ditampilkan dalam film ini:
- Kemajuan: kemajuan sebagai sebuah nilai berorientasi pada perubahan aktivitas sosial perempuan. Karir menjadi salah satu tolok ukur bagi perempuan untuk keluar dari peranan domestik. Ia berperan untuk tampil di ruang publik, berdampingan dengan laki-laki tanpa merasa dirinya lebih rendah. Kemajuan tak melulu soal materi dan perlu diimbangi dengan pikiran tentang kesetaraan.
- Kebebasan: nilai ini menjadi dasar dari perubahan yang terjadi pada perempuan. Ketika ada kebebasan yang diberikan, maka ia berhak memilih arah untuk bergerak dan memiliki keberanian dalam mencoba segala hal. Kebebasan menawarkan sebuah cara agar perempuan dapat keluar dari nilai-nilai tradisional yang mengikat. Dengan demikian, peranan keluarga dalam membentuk apa yang disebut sebagai perempuan tidak terlalu signifikan. Selain itu, kebebasan juga berdampak pada berubahnya norma di masyarakat mengenai perempuan.
- Keberanian: Kebahagiaan adalah milik mereka yang berani. Keberanian diperlukan ketika perempuan mengambil arah dengan risiko yang akan dihadapinya. Misalkan: dalam perspektif modern, seorang perempuan harus bersaing dan berjuang untuk berada setara dengan laki-laki. Seorang perempuan juga harus memiliki nilai lebih untuk menunjukkan dirinya di hadapain publik. Di lain sisi, seorang perempuan dalam perspektif tradisional bisa jadi memikul beban berupa nilai dan aturan yang memang sudah dilakukan di lingkup keluarga.
Masih banyak lagi nilai-nilai yang ditawarkan dalam film “Asrama Dara”. Pastinya, Anda harus menonton dan mengambil interpretasi tersendiri, barangkali bisa jadi inspirasi. Meskipun kita berada pada zaman yang modern, tapi tidak bisa dipungkiri pikiran tradisional tentang perempuan masih melekat di masyarakat. Hal yang demikian sudah menjadi bagian dari budaya (patriarki) sehingga nampaknya perempuan yang berada di tengah-tengah harus mengambil posisi yang tepat. Menurut saya, salah satu cara yang tepat adalah mengadopsi dan mengadaptasikan nilai.
Bruno Latour mengatakan, “We Have Never Been Modern”. Kita hanya perlu menata ulang nilai-nilai yang ada di kedua zaman. Lalu, kita mengubahnya sesuai dengan kebutuhan kita. Misalkan: dalam lingkup keluarga, perkara domestik kini bukan hanya urusan perempuan, tetapi juga laki-laki. Beres-beres rumah, mencuci, memasak, bahkan bersih-bersih adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki semua orang. Peran mencari nafkah pun tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tapi perempuan modern juga harus membantu ekonomi keluarga. Masih banyak nilai tradisional yang bisa diadopsi dan kemudian diadaptasikan oleh modernitas. Namun, hal itu harus dilakukan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan, karena apabila sebaliknya, maka akan memunculkan dominasi yang berdampak pada pertikaian.
Jadi, menurut teman-teman, nilai-nilai tradisional apa lagi, sih, yang bisa diadaptasikan dengan nilai-nilai modern? Kalau ada ide dan cara lain, bisa tulis di kolom komentar, ya, agar kita bisa berbagi referensi menjadi modern day woman!
Penulis: Raka Gunara
Editor: Azaina Farah Sabrina
AkuKita Wanita juga memberikan pencerdasan di newsletter yang dikirim melalui e-mail dua minggu sekali.