Revolusi Hijau

AkuKita Wanita
4 min readJun 21, 2021

--

Marginalisasi Perempuan di Sektor Pertanian

Image Credit AkuKita Wanita

Perempuan dan Pertanian

Saya pernah menemukan sebuah kalimat yang sampai saat ini masih terbenam jelas di pikiran saya. Di sebuah lokasi perkemahan dengan udara amat segar dan air yang mengalir deras, kalimat itu terpasang jelas di satu pohon besar, “Ibuku, Ibumu, Ibumi”. Saya membacanya dan perlahan memahami substansi serta esensi kalimat tersebut. Sejauh pikiran saya menerka, kita hidup di dalam perut seorang wanita. Diberikan oksigen, makanan, dan air yang membuat kita tak perlu bersusah payah untuk bertahan hidup — kita ada di dalam bumi sebelum kita dilahirkan — dan tiba di bumi setelah kita dilahirkan. Ada bumi yang berbeda yang kita pijaki tapi tetaplah seorang perempuan yang mempertahankan manusia untuk tetap hidup. Ia mengerti proses perkembangan manusia selayaknya memahami tumbuh-kembang alam. Itulah kedekatan antara perempuan dengan alam.

Pada awal peradaban manusia, perempuan memiliki keunggulan dalam bidang pertanian ketimbang laki-laki. Dengan kegiatan bercocok tanam, kelangsungan hidup manusia sebagai spesies bergantung pada perempuan. Perannya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pangan menjadi semakin penting ketika hasil buruan laki-laki semakin berkurang. Kegiatan bercocok tanam ditentukan oleh kepiawaian perempuan dalam memproduksi pangan sementara hasil buruan bersifat tidak menentu. Produksi pangan pada masa itu terintegrasi ke dalam sistem sosial dan dilindungi oleh mekanisme sosial (Suradisastra, 1998).

Pertanian adalah kegiatan bercocok tanam yang bersifat alami dan sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Aktivitas sosial ini membentuk pengetahuan perempuan tentang proses pengolahan pangan, kebutuhan gizi serta nutrisi dan prinsip reproduksi makhluk hidup menjadi kunci utama mengapa perempuan memiliki peran utama dalam pertanian (Anonim, 2016). Pemilihan bahan dalam bertani, cara pembuatan, sampai pada proses penggunaan lahan merupakan prinsip kerja perempuan pada pertanian. Proses pengolahan hasil pertanian mulai dari mengambil, mengupas, mencuci, menjemur, dan memasak yang kemudian dihidangkan lalu disantap bersama keluarga membentuk peranan domestik perempuan. Pada masyarakat tradisional, perempuan memiliki status yang lebih tinggi sebagai pelaksana kegiatan pertanian dan memikul tanggung jawab yang besar untuk mempertahankan kecukupan pangan keluarga dan komunitas (Suradisastra, 1998).

Revolusi Hijau: Perebutan Peran Perempuan dalam Pertanian.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1950-an, peran perempuan dalam pertanian mulai mengalami pergeseran. Agenda pembangunan yang sedang digencarkan oleh pemerintah dunia nyatanya berpengaruh besar pada perempuan pedesaan di Indonesia. Perubahan peranan perempuan dalam pertanian muncul dari adanya Developmentalisme dan Revolusi Hijau yang diperkenalkan oleh Presiden Amerika Hary S Trauman pada negara dunia ketiga (Hermawati, 2003)

Revolusi Hijau didirikan atas asumsi bahwa cara tradisional dalam pertanian merupakan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Salah satu upayanya penyelesaiannya adalah dengan memperkenalkan modernisasi berdasarkan sejarah revolusi industri di Eropa. Jadi, ada dua masalah yang harus dihadapi oleh perempuan petani di pedesaan pada masa itu, yakni ketidaksesuaian sejarah dan agenda pembangunan. Ketidaksesuaian sejarah dapat digambarkan dengan penggunaan teknologi secara paksa yang mengubah cara perempuan pedesaan dalam bertani. Lalu, agenda pembangunan digambarkan dengan perubahan sistem pertanian dari yang awalnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadi industri dengan logika pertumbuhan. Menurut Fakih, Revolusi Hijau dimaknai sebagai suatu program yang merupakan kombinasi pengetahuan dan diskursus pertanian, kebijakan politik pertama yang dikembangkan di atas kelas masyarakat dalam suatu formasi sosial kapitalistik di pedesaan dunia ketiga (Hermawati, 2003).

Apa dampaknya bagi perempuan petani di pedesaan?

Alih-alih membawa kemajuan bagi perempuan dalam bidang pertanian, Revolusi Hijau justru menghadirkan ketidaksetaraan gender bagi perempuan pedesaan. Peran perempuan secara sosial dalam pertanian mulai tergeser karena anggapan laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang harus mengelola perekonomian yang dihasilkan dari industri pertanian. Selain itu, penggunaan teknologi yang dikuasai oleh laki-laki juga berpengaruh pada hilangnya kepiawaian perempuan dalam bercocok tanam.

Perempuan petani di Leces, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur misalnya. Perempuan petani di Leces cenderung memiliki kontrol terbatas atas penghasilan pertanian karena didominasi oleh laki-laki. Pada keluarga petani miskin, perempuan cenderung diberi akses pada pengelolaan penghasilan, sementara di keluarga petani yang lebih kaya, perempuan tidak diberi akses mengelola penghasilan mereka (Noviryani, 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan sudah tidak dipercaya untuk mengelola pendapatan yang besar namun dituntut untuk mengelola pendapatan yang terbatas. Lain halnya dengan petani perempuan di Pare yang memiliki keterbatasan informasi pengendalian hama dan penyakit karena mereka rata-rata tidak terlibat dalam proses ini (Noviryani, 2020). Hal ini tentunya menandakan dominasi laki-laki dalam pengetahuan dan penggunan teknologi pertanian. Masih banyak sistem pertanian bernuansa ketidaksetaraan gender yang dapat ditemui secara empiris di masyarakat.

Meskipun tidak semua petani memahami tentang Revolusi Hijau, menurut saya, sistem ini bisa berlaku dan diimplementasikan tanpa disadari oleh para petani. Sistem Revolusi Hijau yang diberlakukan secara nasional tentunya mengubah cara bekerja petani di pedesaan. Oleh karena pemberlakuan secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama, maka terbentuklah budaya pertanian yang lekat akan marjinalisasi perempuan. Arah pembangunan yang juga sudah mulai berubah secara perlahan membuat perempuan kembali aktif dalam pertanian walaupun beberapa orang di kalangan pemberdaya juga merasakan sistem patriarki menjadi kendala dalam pemberdayaan perempuan.

Dengan itu, dapat disimpulkan bahwa kedekatan antara perempuan dan pertanian mengalami perubahan yang berpengaruh sampai saat ini. Salah satu bentuknya bisa dilihat melalui budaya dan psikologis perempuan dalam berperan pada pertanian. Ditambah lagi, agenda pembangunan yang menggusur sawah pertanian di pedesaan membuat masyarakat mengalami keterpurukan dan dipaksa untuk mengikuti modernisasi yang semakin berkembang. Oleh karena itu, patutlah kita mengapresiasi, besimpati, berempati, dan mempelajari kedekatan antara perempuan dan pertanian demi menjaga keberlangsungan alam yang memberikan sumber daya untuk memenuhi kehidupan. Bagaimana menurut kalian? Apalagi dampak Revolusi Hijau terhadap perempan di pertanian? Tulis di kolom komentar, ya!

AkuKita Wanita juga memberikan pencerdasan di newsletter yang dikirim melalui e-mail dua minggu sekali.

Penulis: Raka Gunara

Editor: Azaina Farah Sabrina

Referensi:

Anonim, 2016. Perempuan dan Pertanian Alami. [Online]
Available at: https://binadesa.org/perempuan-dan-pertanian-alami/
[Accessed 15 06 2021].

Hermawati, I., 2003. Kajian tentang Wanita dan Perubahan Perdesaan. Informasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial , 8 no. 3(Revolusi Hijau), pp. 14–26.

Noviryani, M., 2020. Marginalisasi Perempuan di Sektor Pertanian Jawa Timur Didorong Pengaruh Aspek Budaya dan Psikologis. [Online]
Available at: https://theconversation.com/marginalisasi-perempuan-di-sektor-pertanian-jawa-timur-didorong-pengaruh-aspek-budaya-dan-psikologis-131039
[Accessed 15 06 2021].

Suradisastra, K., 1998. Perspektif Keterlibatan Wanita di Sektor Pertanian. FAE, 16(agricultural), pp. 1–9.

--

--