Pemimpin Perempuan

AkuKita Wanita
4 min readJul 30, 2021

Yustina Ogoney dan Kepemimpinan Perempuan Adat

Image Credit AkuKita Wanita

Indonesia sebagai negara kepulauan menyimpan berbagai macam kekayaan alam beserta masyarakat adat yang turut menjaganya. Pola kehidupan masyarakat adat yang berdampingan dengan alam membentuk sistem sosial di antara keduanya. Mulai dari proses pemanfaatan alam, nilai-nilai spiritual (roh nenek moyang), sampai pada praktik sosial masyarakat adat. Salah satu fenomena seperti ini terdapat di Papua, sebuah wilayah di bagian timur Indonesia dengan kekayaan hutan dan keanekaragaman hayati. Alih-alih menikmati kekayaan alam, masyarakat adat Papua justru tersingkir dari wilayah adatnya akibat kerusakan hutan dan eksploitasi sumber daya alam. Mata pencaharian dan sumber penghidupan masyarakat adat semakin berkurang bahkan hilang sama sekali. Di antara seluruh lapisan masyarakat adat, ternyata yang paling terdampak adalah perempuan adat.

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, perempuan adat yang kuat akan menghasilkan masyarakat adat yang kuat (Elisabeth, 2020). Bagaimana tidak, perempuan adat di Papua memiliki peran penting terhadap ekosistem dan pranata sosial. Perempuan adat memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni dalam memanfaatkan sumber daya alam menjadi pengobatan tradisional, kesenian, dan ritual adat. Perempuan adat mewarisi pengetahuan alam dari para pendahulu sehingga kehilangan alam berarti kehilangan warisan dan memutus rantai pengetahuan. Oleh karena itu, dalam melindungi warisannya dari kerusakan yang dilakukan pihak luar, perempuan adat memerlukan kepemimpinan meskipun upaya-upaya ini sering mendapatkan tantangan dari laki-laki adat.

Adalah Yustina Ogoney, sosok perempuan adat sekaligus Kepala Distrik Mendey, Teluk Bintuni, Papua Barat yang berupaya untuk mendorong kepemimpinan perempuan. Sebagai bagian dari Suku Moskona, ia menjelaskan bahwa hutan di wilayahnya secara keseluruhan sudah diambil oleh HPH (perusahaan yang mendapat izin tebang untuk pengambilan kayu) (Elisabeth, 2020). Yustina khawatir akan generasi yang dilahirkan oleh perempuan tidak bisa lagi menikmati keragaman hayati yang telah diwariskan. Ada beberapa hal yang bisa dipelajari tentang kepemimpinan perempuan dari sosok Yustina Ogoney, saya merangkumnya ke dalam beberapa hal berikut:

  1. Perempuan harus bisa menjadi penengah dari masalah yang dihadapinya.

Subordinasi laki-laki terhadap perempuan lantas tidak membuat perempuan menyerahkan penyelesaian masalahnya terhadap laki-laki. Ia harus menjadi sosok penengah yang memfasilitasi banyak orang yang juga menghadapi masalah yang sama. Hal ini dapat mentransformasikan peranan domestik perempuan pada kegiatan yang bersifat publik. Seorang perempuan harus bisa mengambil alih, peran, dan posisi ketika masalah yang dihadapinya mempengaruhi dirinya bahkan kelompoknya.

2. Menjadi inisiator sekaligus motivator kelompok.

Menjadi inisiator merupakan salah satu simbol seorang perempuan yang peduli dan memiliki kapasitas dan kompetensi yang mumpuni untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini juga menjadikan perempuan sebagai seseorang yang berpengetahuan dan solutif bagi masyarakat. Ia mampu memberikan dorongan, kesadaran, dan kepekaan terhadap perempuan lainnya untuk bergerak secara bersama menyelesaikan masalah yang dihadapi perempuan.

3. Memahami dan mengetahui dengan jelas apa yang akan diubah.

Bergerak berarti beranjak dari keadaan. Dengan kata lain, seorang perempuan harus berpihak pada kemerdekaan perempuan dan menghadapi ketidakadilan. Ia tidak lagi menjadi seorang pengikut tetapi juga berusaha untuk melampaui apa yang “dilekatkan” oleh masyarakat kepada perempuan. Seperti Yustina Ogoney yang berusaha untuk mengubah pengambilan keputusan oleh laki-laki dan pihak di luar adat karena perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan. Selain itu, seorang perempuan harus mengetahui dengan jelas apa peranannya di masyarakat dan apa yang menghalangi perempuan untuk berbuat sesuatu. Ada yang dipertahankan dan ada juga yang harus diubah.

4. Kerjasama lintas generasi.

Bagian ini menurut saya adalah bagian terpenting dari kepemimpinan perempuan. Ia harus merangkul segala lapisan perempuan di masyarakat, baik kalangan muda ataupun kalangan tua. Alasannya adalah agar generasi muda mengetahui secara sadar apa yang menghalangi dan menindas perempuan selama ini. Kalangan muda yang juga sudah tumbuh dari ragam persepsi perempuan mampu menguatkan kalangan tua agar situasi perubahan pada perempuan semakin kuat. Dalam konteks ini adalah mata rantai pengetahuan yang diputus untuk menghilangkan ketidakadilan pada generasi berikut, sekaligus mengajarkan bahwa perempuan pada masyarakat adat memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga wilayah adatnya.

Dari Yustina Ogoney, perempuan dapat mempelajari bahwa masalah yang dihadapi perempuan bukanlah masalah personal melainkan gender. Hal yang kemudian perlu diperhatikan adalah kepemimpinan merupakan sebuah sikap dan perilaku yang dapat membangun pemimpin lainnya dan membangun komunitas adat yang kuat. Di Papua, ada beberapa kelompok masyarakat adat yang mengakui kepemimpinan perempuan seperti Mama Yosepha Alomang dari Suku Amungme di Timika yang berjuang mempertahankan wilayah adat dari PT Freeport.

Perjuangan perempuan akan melahirkan pejuang perempuan lainnya di kemudian hari, bagaimana menurut kalian?

AkuKita Wanita juga memberikan pencerdasan di newsletter yang dikirim melalui e-mail dua minggu sekali.

Penulis: Raka Gunara

Editor: Azaina Farah Sabrina

Elisabeth, A. (2020, 07 Agustus). Upaya Perempuan Adat Papua Jaga Hak Wilayah Mereka. Retrieved from mongabay.co.id: https://www.mongabay.co.id/2020/08/07/upaya-perempuan-adat-papua-jaga-hak-wilayah-mereka/

--

--